Di antara padatnya jalan pulang sekolah, ada ruang kecil yang seringkali terisi oleh cerita. Bukan cerita besar yang akan masuk buku sejarah, bukan pula kisah dramatis yang mengguncang dunia. Hanya obrolan sederhana, kadang berulang, kadang dianggap menyebalkan. Namun justru di situlah sebuah kenangan perlahan disulam.
Amazia duduk di kursi samping, matanya berat menahan kantuk, sementara Aku sambil menyetir tak pernah kehabisan bahan cerita. Kisah-kisah itu mengalir tanpa jeda, seolah jalanan macet adalah panggung. Bagi Amazia, kadang cerita itu terasa mengganggu, apalagi saat lelah menumpuk. Tapi di balik kejengkelan kecilnya, ada sesuatu yang diam-diam ia simpan.
Julius Deliawan, bukan hanya seorang guru sejarah, Ia adalah pengajar kehidupan di dalam keluarganya. Sejak muda, Julius sudah terbiasa berpindah tempat, menyesuaikan diri, dan berjuang keras demi pendidikan. Dari Aek Kanopan ke Sarolangun, dari bangku sekolah hingga menjadi ketua mahasiswa di UKSW saat era reformasi. Hidupnya adalah perjalanan disiplin, tanggung jawab, dan kerja keras yang diwariskan tanpa banyak kata, melainkan lewat sikap sehari-hari. Ia menuliskan itu dilembar kertas kerja tugas bahasa Indonesia-nya.
Kini, di tengah rutinitas menjadi guru dan ayah, Julius tetap memegang peran yang sama: membentuk karakter anak-anaknya. Ia tidak selalu mengajar lewat petuah panjang, melainkan melalui kebiasaan sederhana, seperti bercerita di jalan pulang. Membacanya, Aku jadi teringat reaksinya ketika terus bercerita, meski Ia manyun kesal.
Kadang ia mengadukan “gangguan” itu kepada mamanya dengan gaya yang lucu, seakan sedang mengolok-olok Aku, ayahnya. Bagiku, momen itu justru jadi bagian manis dari hubungan Ayah-anak. Tawa, protes, bahkan “bully” kecil yang Ia lempar bukan tanda penolakan, melainkan bukti bahwa cerita-cerita itu punya tempat di hatinya.
Dan benar saja, ketika Amazia menuliskan tugas biografi bahasa Indonesia, dan Ia memilih menulis tentang Aku ayahnya. Dari situ Aku tahu bahwa cerita-cerita itu tidak pernah hilang. Ia ingat perjuangan Julius berpindah ke Jakarta seorang diri untuk mengajar, ingat tentang pernikahan dengan mamanya, ingat tentang kesederhanaan hidup keluargaku yang dibalut kerja keras dan kebersamaan. Semua yang dulu tampak sepele, ternyata disimpan baik-baik di memorinya.
Ada pelajaran yang pelan-pelan tumbuh di balik obrolan sederhana itu. Bahwa tidak semua pengajaran datang dari kelas atau buku teks. Ada hal-hal kecil yang justru menancap lebih dalam: obrolan di tengah kemacetan, wajah lelah yang masih mau mendengarkan, atau keluhan yang akhirnya berbalik jadi kenangan hangat.
Kisah Julius dan Amazia ini bukan tentang sosok ayah yang sempurna. Julius hanyalah seorang guru yang hidup sederhana, berjuang bersama keluarganya, mencoba memberi yang terbaik meski jalannya tidak selalu mudah. Tetapi justru di situlah letak inspirasinya. Kesederhanaan itu menghadirkan keindahan. Perjuangan itu mengajarkan arti keteguhan.
Dari bangku sebelah kursi mobil, Amazia belajar tanpa sadar. Ia mungkin tertawa, mengeluh, bahkan kesal. Tapi kelak, ketika ia menengok ke belakang, ia akan menyadari: kisah-kisah kecil itulah yang membentuknya. Sama seperti sejarah yang ayahnya ajarkan, hidup pun adalah rangkaian peristiwa yang baru terasa maknanya ketika dikenang.
Pada akhirnya, setiap keluarga punya cara sendiri untuk menyimpan kenangan. Ada yang lewat foto, ada yang lewat tulisan, ada pula yang lewat cerita ringan di perjalanan pulang. Dan untuk Amazia, ia punya seorang ayah yang bukan hanya guru sejarah, tetapi juga pencipta kisah sederhana yang kelak akan menjadi sejarah pribadinya.
Karena pada akhirnya, bukan panjangnya nasihat yang bertahan di ingatan, melainkan momen-momen kecil yang dibagikan dengan berbagai peristiwa. Dan dari situ, kita belajar bahwa hidup yang sederhana pun tetap menyenangkan.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar