Akhirnya, aku sampai juga pada titik ini. Titik yang selama ini hanya
kulihat dalam bayangan, seolah akan datang di masa depan yang jauh, tetapi
ternyata nyata, dan sekarang harus kutemui. Putri sulungku, gadis kecil yang
dulu kugendong di pelukan, yang selalu mencari tangan ayah ketika takut, kini
harus menapaki jalan baru: Solo. Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret
menjadi alamat barunya.
Sejak beberapa minggu terakhir, hatiku seperti
lautan yang tak menentu. Kadang tenang, kadang gelombang rasa cemas menghantam
keras. Ada rasa bangga yang luar biasa ketika membayangkan dirinya menuntut
ilmu, menemukan teman baru, menghadapi tantangan baru. Namun ada pula rasa
takut yang tak bisa kuhindari: apakah ia akan mampu menghadapi dunia yang keras
tanpa ayah di sisinya? Apakah ia akan jatuh, tersesat, atau terluka?
Aku menatapnya saat ia menata koper dan tas
punggungnya. Setiap gerakannya membuatku tersenyum dan sekaligus menahan dada
yang sesak. Mataku mengembara di sekeliling rumah, mengukir semua kenangan yang
pernah kami lewati bersama: suara tawanya yang riang, pertanyaan-pertanyaan
polosnya yang selalu membuatku tersenyum, malam-malam ketika ia merengek ingin
ditemani tidur. Semua itu kini menjadi bekal yang harus kutitipkan padanya,
untuk dibawa dalam perjalanan hidupnya yang baru.
Aku tersenyum tipis, menahan suara dan berkata
lirih dalam hati, “Nak, ayah percaya kamu bisa menjalani semuanya dengan baik.
Ayah bangga padamu.” Kata-kata itu terdengar sederhana, tetapi sarat makna. Aku
ingin ia tahu bahwa meski jarak memisahkan, cinta seorang ayah tetap ada. Aku
ingin ia merasakan bahwa meski ayah tidak selalu ada di sampingnya, doa dan
harapan selalu menyertainya.
Aku mendengar hatiku sendiri berbicara lirih: “Dia akan baik-baik saja, kan? Semua pelajaran
yang kita tanamkan… cukup, kan?” Kekhawatiran itu hadir begitu alami. Tapi
aku tahu, perasaan itu hanyalah bagian dari cinta. Karena melepas bukan berarti
berhenti peduli. Melepaskan justru adalah bentuk tertinggi dari cinta dan
percaya. Memberi anak kesempatan untuk tumbuh, menemukan dunianya sendiri,
belajar dari jatuh dan bangkit kembali.
Aku teringat saat ia masih kecil, bagaimana
tangannya selalu menggenggam jemaraku ketika takut gelap, bagaimana matanya
berbinar ketika berhasil belajar hal baru, bagaimana senyumnya mampu
meringankan hari-hariku. Kini, saat ia berdiri di hadapanku dengan tas di bahu,
siap menapaki dunia barunya, hatiku campur aduk. Bangga tentu saja. Tapi juga
sedikit perih, karena aku tahu, dunia tidak selalu ramah.
Aku mencoba menahan diri, tapi air mata hampir
jatuh. Aku menatapnya lama, menelusuri wajahnya yang kini tak lagi seperti
gadis kecil yang selalu membutuhkan pelukan ayah setiap malam. Aku berbisik
dalam hati, “Semoga kamu menemukan kekuatanmu
sendiri. Semoga setiap langkahmu membuatmu bahagia. Dan semoga kamu selalu
ingat… ayah selalu percaya padamu.”
Dalam beberapa hari terakhir, aku belajar
banyak tentang arti melepaskan. Aku belajar bahwa kekhawatiran adalah bagian
dari cinta, tetapi kepercayaan adalah fondasinya. Aku belajar bahwa memberi
kebebasan bukan berarti kehilangan, tetapi memberi ruang untuk tumbuh.
Anak-anak, seberapa pun kita ingin selalu berada di sisi mereka, pada akhirnya
harus menapaki jalan mereka sendiri. Dan di situlah letak keindahan cinta
seorang ayah, melihat anak kita menemukan sayapnya sendiri, dan meski sayap itu
terbang jauh, kita tahu mereka akan selalu kembali dengan cerita, pengalaman,
dan kebijaksanaan baru.
Saat aku menatapnya berjalan menjauh, di
stasiun Jatinegara, aku merasakan sesuatu yang sederhana tapi mendalam: setiap
langkahnya adalah cerminan dari cinta yang kita tanam. Setiap keputusan yang ia
buat adalah buah dari bimbingan, doa, dan kepercayaan yang selama ini kita
berikan. Aku menyadari bahwa peran seorang ayah bukan untuk menahan anak tetap
dekat, tetapi untuk menyiapkan mereka agar bisa berjalan sendiri dengan tegap
dan percaya diri.
Aku menarik napas panjang, menatap jam yang semakin menunjukkan jadwal keberangkatan keretanya. Dalam keheningan itu, aku merasa damai. Karena aku
tahu, dengan memberinya kebebasan untuk tumbuh, dengan mempercayainya
menghadapi dunia, cinta yang kuberikan padanya kini terasa sempurna. Tidak ada
penyesalan, tidak ada rasa takut yang menahan, hanya rasa percaya yang mendalam
bahwa putriku akan menjadi wanita yang kuat, bijaksana, dan mandiri.
Aku tersenyum lagi, menepuk tas punggungnya
dengan lembut. Memeluknya erat. Di mana
pun kamu berada, ayah selalu percaya. Melepaskanmu bukan karena ayah tidak
peduli. Melepaskanmu adalah cara ayah menunjukkan cinta yang paling sempurna.”
Melepaskan bukanlah akhir. Melepaskan adalah
awal dari perjalanan baru, untuk anak, dan juga untuk diri sendiri. Dalam
proses ini, aku belajar bahwa cinta seorang ayah tidak diukur dari seberapa
dekat kita bisa menahan, tetapi dari seberapa besar kita berani mempercayai.
Dan pada akhirnya, di titik itu, cinta terasa utuh, sempurna, dan abadi.
Jatinegara, 14 Agustus 2025

Kasih ayah yang luar biasa, kepercayaan yang diberikan akan menjadi modal buah hati bertumbuh🫰Universitas Sebelas Maret juga tempatku bertumbuh
BalasHapusTrimakasih, berarti jadi juniornya ini
Hapus