Jumat, 15 Agustus 2025

Melepas dan Percaya: Cinta Seorang Ayah

 


Akhirnya, aku sampai juga pada titik ini. Titik yang selama ini hanya kulihat dalam bayangan, seolah akan datang di masa depan yang jauh, tetapi ternyata nyata, dan sekarang harus kutemui. Putri sulungku, gadis kecil yang dulu kugendong di pelukan, yang selalu mencari tangan ayah ketika takut, kini harus menapaki jalan baru: Solo. Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret menjadi alamat barunya.

Sejak beberapa minggu terakhir, hatiku seperti lautan yang tak menentu. Kadang tenang, kadang gelombang rasa cemas menghantam keras. Ada rasa bangga yang luar biasa ketika membayangkan dirinya menuntut ilmu, menemukan teman baru, menghadapi tantangan baru. Namun ada pula rasa takut yang tak bisa kuhindari: apakah ia akan mampu menghadapi dunia yang keras tanpa ayah di sisinya? Apakah ia akan jatuh, tersesat, atau terluka?


Aku menatapnya saat ia menata koper dan tas punggungnya. Setiap gerakannya membuatku tersenyum dan sekaligus menahan dada yang sesak. Mataku mengembara di sekeliling rumah, mengukir semua kenangan yang pernah kami lewati bersama: suara tawanya yang riang, pertanyaan-pertanyaan polosnya yang selalu membuatku tersenyum, malam-malam ketika ia merengek ingin ditemani tidur. Semua itu kini menjadi bekal yang harus kutitipkan padanya, untuk dibawa dalam perjalanan hidupnya yang baru.

Aku tersenyum tipis, menahan suara dan berkata lirih dalam hati, “Nak, ayah percaya kamu bisa menjalani semuanya dengan baik. Ayah bangga padamu.” Kata-kata itu terdengar sederhana, tetapi sarat makna. Aku ingin ia tahu bahwa meski jarak memisahkan, cinta seorang ayah tetap ada. Aku ingin ia merasakan bahwa meski ayah tidak selalu ada di sampingnya, doa dan harapan selalu menyertainya.

Aku mendengar hatiku sendiri berbicara lirih: “Dia akan baik-baik saja, kan? Semua pelajaran yang kita tanamkan… cukup, kan?” Kekhawatiran itu hadir begitu alami. Tapi aku tahu, perasaan itu hanyalah bagian dari cinta. Karena melepas bukan berarti berhenti peduli. Melepaskan justru adalah bentuk tertinggi dari cinta dan percaya. Memberi anak kesempatan untuk tumbuh, menemukan dunianya sendiri, belajar dari jatuh dan bangkit kembali.

Aku teringat saat ia masih kecil, bagaimana tangannya selalu menggenggam jemaraku ketika takut gelap, bagaimana matanya berbinar ketika berhasil belajar hal baru, bagaimana senyumnya mampu meringankan hari-hariku. Kini, saat ia berdiri di hadapanku dengan tas di bahu, siap menapaki dunia barunya, hatiku campur aduk. Bangga tentu saja. Tapi juga sedikit perih, karena aku tahu, dunia tidak selalu ramah.

Aku mencoba menahan diri, tapi air mata hampir jatuh. Aku menatapnya lama, menelusuri wajahnya yang kini tak lagi seperti gadis kecil yang selalu membutuhkan pelukan ayah setiap malam. Aku berbisik dalam hati, “Semoga kamu menemukan kekuatanmu sendiri. Semoga setiap langkahmu membuatmu bahagia. Dan semoga kamu selalu ingat… ayah selalu percaya padamu.”

Dalam beberapa hari terakhir, aku belajar banyak tentang arti melepaskan. Aku belajar bahwa kekhawatiran adalah bagian dari cinta, tetapi kepercayaan adalah fondasinya. Aku belajar bahwa memberi kebebasan bukan berarti kehilangan, tetapi memberi ruang untuk tumbuh. Anak-anak, seberapa pun kita ingin selalu berada di sisi mereka, pada akhirnya harus menapaki jalan mereka sendiri. Dan di situlah letak keindahan cinta seorang ayah, melihat anak kita menemukan sayapnya sendiri, dan meski sayap itu terbang jauh, kita tahu mereka akan selalu kembali dengan cerita, pengalaman, dan kebijaksanaan baru.

Saat aku menatapnya berjalan menjauh, di stasiun Jatinegara, aku merasakan sesuatu yang sederhana tapi mendalam: setiap langkahnya adalah cerminan dari cinta yang kita tanam. Setiap keputusan yang ia buat adalah buah dari bimbingan, doa, dan kepercayaan yang selama ini kita berikan. Aku menyadari bahwa peran seorang ayah bukan untuk menahan anak tetap dekat, tetapi untuk menyiapkan mereka agar bisa berjalan sendiri dengan tegap dan percaya diri.

Aku menarik napas panjang, menatap jam yang semakin menunjukkan jadwal keberangkatan keretanya. Dalam keheningan itu, aku merasa damai. Karena aku tahu, dengan memberinya kebebasan untuk tumbuh, dengan mempercayainya menghadapi dunia, cinta yang kuberikan padanya kini terasa sempurna. Tidak ada penyesalan, tidak ada rasa takut yang menahan, hanya rasa percaya yang mendalam bahwa putriku akan menjadi wanita yang kuat, bijaksana, dan mandiri.

Aku tersenyum lagi, menepuk tas punggungnya dengan lembut. Memeluknya erat.  Di mana pun kamu berada, ayah selalu percaya. Melepaskanmu bukan karena ayah tidak peduli. Melepaskanmu adalah cara ayah menunjukkan cinta yang paling sempurna.”

Melepaskan bukanlah akhir. Melepaskan adalah awal dari perjalanan baru, untuk anak, dan juga untuk diri sendiri. Dalam proses ini, aku belajar bahwa cinta seorang ayah tidak diukur dari seberapa dekat kita bisa menahan, tetapi dari seberapa besar kita berani mempercayai. Dan pada akhirnya, di titik itu, cinta terasa utuh, sempurna, dan abadi.

Jatinegara, 14 Agustus 2025

2 komentar:

  1. Kasih ayah yang luar biasa, kepercayaan yang diberikan akan menjadi modal buah hati bertumbuh🫰Universitas Sebelas Maret juga tempatku bertumbuh

    BalasHapus