Selasa, 16 September 2025

Ketika Oncom Memisahkan, Jengkol Menyatukan

 


Aku dan istriku itu ibarat dua aplikasi yang nggak kompatibel, tapi entah kenapa kalau dipaksa buka bareng, malah jadi seru. Dari soal makanan aja, udah beda dunia. Dia bisa bahagia luar biasa ketemu pasta, kwetiaw, atau oncom. Aku? Paling banter soto dan nasi hangat plus panggang. Kalau ada oncom di meja, mending aku bikin mie goreng instan.

Tapi anehnya, ada satu makanan yang bikin kami seperti menemukan bahasa yang sama: jengkol. Bayangkan, semua perbedaan bisa hilang begitu piring jengkol mendarat. Yang biasanya debat soal “makan di luar atau masak sendiri,” tiba-tiba berubah jadi “ayo bareng-bareng serbu jengkol.” Romantis? Entahlah. Tapi jelas aromanya nggak bisa bohong: kami bersatu.


Nah, urusan lain yang selalu bikin aku keder: istriku tuh semacam agen perjalanan dadakan. Tiba-tiba aja, “Ayo ke sana, ayo ke sini!” Kadang ngajak anak-anak juga, jadinya kayak kompor yang sukses membakar semangat anak-anak. Dan aku? Seringnya pasrah. Mau nolak susah, ujung-ujungnya ikut juga. Padahal di kepala udah penuh hitungan: ongkos, parkir, makan, minum, jajan. Tapi kalau udah berangkat, biasanya aku cuma bisa nyengir dan ikut arus.

Beda kami memang nyata. Dia spontan, aku perencana—meski perencanaanku sering berhenti di level “rencana.” Dia ngajak gerak, aku cenderung mager. Kombinasi ini wajar kalau sering bikin konflik. Kadang sepele banget—hal-hal kecil yang kalau dipikir lagi kok bisa sampai bikin debat? Tapi khasnya kami: konflik cepat hilang. Besoknya udah ngobrol lagi, kayak nggak ada apa-apa. Sampai akhirnya, ya, topik lama muncul lagi.

Kalau dipikir-pikir, mungkin memang itulah “bahasa rumah tangga” kami. Berantem, baikan, ulang lagi. Kayak lagu yang diputar terus, tapi tetap bikin ketagihan didengar. Ada capeknya, ada lucunya, tapi selalu ada yang bisa dipelajari.

Dan soal belajar itu, ternyata kami sama-sama sepakat: nggak ada tamatnya. Belajar itu proses seumur hidup. Belajar mengalah, belajar menertawakan diri sendiri, belajar bahwa perbedaan nggak selalu berarti jurang. Kadang malah jadi bumbu. Dan jengkol, entah kenapa, jadi simbol sederhana bahwa di antara semua perbedaan, kami masih punya titik temu.

Lucu, ya? Mungkin memang itu cara hidup mengajarkan kami: jangan terlalu serius, nikmati aja, meski kadang baunya… agak menyengat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar