Sabtu, 20 September 2025

Bonsai: Hobi, Kontemplasi, dan Investasi Pensiun

 


Saya punya hobi berkebun. Awalnya, menanam sayur, bunga, dan tanaman umur pendek lainnya di lahan yang sangat terbatas. Rasanya menyenangkan bisa melihat benih tumbuh menjadi hijau, kemudian panen meski hanya secuil. Tetapi, ada satu masalah yang sering muncul: tubuh tak selalu sanggup untuk merawatnya.

Rutinitas dari subuh hingga magrib sudah cukup menguras tenaga. Kadang Sabtu pun masih harus berangkat kerja. Pulang ke rumah, badan sudah lelah tak tertahankan. Harapan bisa berbagi peran dengan anak atau istri untuk ikut merawat tanaman pun sering berakhir sama: kelelahan.

Masalahnya, tanaman-tanaman itu manja. Tidak disiram satu atau dua hari saja, keesokan paginya sudah layu. Kalau dibiarkan, bisa gagal panen. Dari situlah saya mulai berpikir ulang: mungkinkah ada jenis tanaman yang lebih “sabar” terhadap kesibukan saya?


Bertemu Dunia Bonsai

Beberapa tahun lalu, saya memutuskan banting setir. Saya tinggalkan sayuran dan bunga yang butuh perhatian harian, lalu mencoba merambah tanaman kayu—membuat bonsai.

Prosesnya pun penuh cerita. Bibit saya kumpulkan sejak sebelum pandemi. Saya mencari pohon beringin di pinggiran jalan, memungutnya dari depan sekolah, bahkan sampai halte Transjakarta di Gunung Sahari IV. Setiap kali menemukan, saya masukkan ke dalam plastik, lalu bawa pulang.

Kini, pohon-pohon itu mulai menampakkan wujudnya. Memang, masih jauh dari bisa disebut bonsai jadi. Sebagian bahkan tersapu banjir, hilang begitu saja. Tapi melihat sisa yang masih bertahan, hati saya tetap tenang. Ada kepuasan tersendiri ketika batang-batang mungil itu perlahan berubah bentuk, mengikuti sentuhan sederhana dari tangan saya.

Hobi yang Menyegarkan

Mengapa saya merasa cocok dengan bonsai? Mungkin karena karakter saya yang suka hal-hal kontemplatif. Bonsai bukan tentang cepat panen. Ia butuh waktu, kesabaran, dan perhatian jangka panjang. Justru di situlah saya menemukan energi baru.

Ketika bosan menulis, saya rawat bonsai. Sekadar memangkas ranting kecil, membersihkan lumut, atau sekadar memandanginya. Aneh tapi nyata: lelah seakan hilang, energi terasa penuh kembali.

Pulang kerja dengan tubuh penat pun tidak jadi masalah. Bonsai tidak rewel. Tidak disiram satu atau dua hari, bahkan seminggu pun, masih tetap segar. Kalau harus pergi keluar kota, cukup rendam sebentar di air—beres. Tidak perlu takut gagal panen. Ada rasa “aman” yang membuat hobi ini terasa lebih ringan.

Nilai Tambah

Dari beberapa bacaan, saya tahu bahwa bonsai bukan sekadar hobi. Ia juga punya nilai ekonomis yang lumayan. Jika sudah jadi dan siap dijual, harganya bisa mengejutkan. Dengan kata lain, merawat bonsai bisa menjadi investasi jangka panjang. Saya membayangkannya sebagai tabungan pensiun, sesuatu yang tumbuh perlahan tapi pasti.

Namun, lebih dari sekadar nilai uang, bonsai memberi saya ruang jeda di tengah kesibukan. Ia mengajarkan arti kesabaran, kontinuitas, dan kesederhanaan. Ada filosofi yang menenangkan: bahwa hidup tidak selalu tentang cepat, tapi tentang tekun dan berproses.

Kini, setiap kali saya melihat batang-batang mungil yang dulu saya pungut di jalan, saya merasa seolah bercermin. Dari sesuatu yang dianggap sepele, ternyata bisa tumbuh indah. Bonsai membuat saya belajar menerima ritme hidup: kadang lelah, kadang bersemangat, tetapi selalu ada ruang untuk tumbuh.

Bagi saya, bonsai bukan hanya hobi. Ia adalah cara mengisi ulang energi, tempat menemukan kedamaian, sekaligus investasi kecil yang saya siapkan untuk masa depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar