Minggu, 24 Agustus 2025

Anak Tidak Butuh Orang Tua Sempurna

 

Di sekolah tempat saya mengajar, anak-anak saya juga ikut belajar. Tidak jarang, ada guru lain yang mendekati saya, bercerita tentang mereka. Kadang dengan nada kagum, kadang hanya sekadar membagi kisah kecil tentang sikap mereka di kelas. Ada juga yang sampai bertanya, bagaimana sebenarnya cara kami mendidik mereka.

Setiap kali pertanyaan itu datang, saya selalu tersenyum. Jawaban saya sederhana: sama saja seperti orang tua yang lain. Kami pun pernah marah, pernah tegas, bahkan mungkin tanpa sengaja menyakiti mereka. Kami bukan keluarga sempurna. Ada hari-hari penuh tawa, tapi ada juga hari dengan bentakan atau air mata.


Saya ingat pernah bergurau pada rekan-rekan guru, bahwa untuk membuat anak-anak kuat, kami kadang "membully" mereka. Tentu bukan dengan makna sebenarnya, melainkan cara kami melatih mereka agar tidak mudah rapuh. Dunia ini, suka atau tidak, tidak selalu ramah. Tidak semua orang akan berkata manis. Tidak semua situasi akan berpihak. Jika sejak kecil mereka tahu bahwa rumah pun bisa menjadi tempat belajar tentang kerasnya hidup, saya percaya mereka tidak akan mudah runtuh saat berhadapan dengan kenyataan di luar sana.

Namun di balik itu, satu hal yang selalu kami usahakan adalah menyayangi mereka tanpa dibuat-buat. Kasih sayang itu kami ekspresikan kapan saja dan di mana saja, tanpa menunggu momen khusus. Saat duduk di ruang tamu, ketika berjalan ke pasar, bahkan dalam percakapan ringan menjelang tidur. Bagi saya, cinta bukan sesuatu yang harus diumbar berlebihan, tetapi cukup dihidupi setiap hari, dalam bentuk yang sederhana.

Barangkali inilah yang dilihat teman-teman guru saya. Mereka melihat anak-anak saya bisa menghargai orang lain, bisa menjaga sikap, dan berani mencoba. Padahal, semua itu berawal dari kebiasaan kecil di rumah: belajar meminta maaf, belajar menghargai pendapat, belajar menerima ketika ada hal yang tidak sesuai keinginan.

Saya percaya, anak-anak tidak butuh orang tua yang sempurna. Mereka hanya butuh orang tua yang hadir—yang mau marah ketika perlu, menegur ketika salah, tetapi juga memeluk tanpa alasan. Kehadiran itu jauh lebih penting daripada segala teori pengasuhan yang kadang terasa muluk.

Di sekolah, anak-anak bisa belajar banyak hal. Tapi di rumah, mereka belajar siapa diri mereka sebenarnya. Dan sebagai orang tua, tugas saya adalah memastikan bahwa rumah selalu menjadi tempat mereka kembali, tempat yang penuh cinta meski kadang diwarnai pertengkaran kecil.

Mendidik anak ternyata bukan tentang mencetak mereka jadi sempurna, melainkan menemani mereka tumbuh. Kadang dengan gelak tawa, kadang dengan air mata. Kadang dengan teguran keras, kadang dengan pelukan hangat. Semua itu bagian dari perjalanan yang akan mereka kenang suatu hari nanti.

Jika ada yang bertanya lagi bagaimana cara kami mendidik mereka, mungkin jawabannya sederhana: dengan cara yang sama seperti keluarga lain. Dengan marah dan cinta. Dengan air mata dan tawa. Dengan kesalahan yang akhirnya membuat kami belajar, bahwa menjadi orang tua pun adalah sebuah proses panjang, yang tak pernah berhenti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar