Di sekolah tempat saya mengajar, anak-anak saya juga ikut
belajar. Tidak jarang, ada guru lain yang mendekati saya, bercerita tentang
mereka. Kadang dengan nada kagum, kadang hanya sekadar membagi kisah kecil
tentang sikap mereka di kelas. Ada juga yang sampai bertanya, bagaimana
sebenarnya cara kami mendidik mereka.
Setiap kali pertanyaan itu datang, saya selalu tersenyum.
Jawaban saya sederhana: sama saja seperti orang tua yang lain. Kami pun pernah
marah, pernah tegas, bahkan mungkin tanpa sengaja menyakiti mereka. Kami bukan
keluarga sempurna. Ada hari-hari penuh tawa, tapi ada juga hari dengan bentakan
atau air mata.
Saya ingat pernah bergurau pada rekan-rekan guru, bahwa
untuk membuat anak-anak kuat, kami kadang "membully" mereka. Tentu
bukan dengan makna sebenarnya, melainkan cara kami melatih mereka agar tidak
mudah rapuh. Dunia ini, suka atau tidak, tidak selalu ramah. Tidak semua orang
akan berkata manis. Tidak semua situasi akan berpihak. Jika sejak kecil mereka
tahu bahwa rumah pun bisa menjadi tempat belajar tentang kerasnya hidup, saya
percaya mereka tidak akan mudah runtuh saat berhadapan dengan kenyataan di luar
sana.
Namun di balik itu, satu hal yang selalu kami usahakan
adalah menyayangi mereka tanpa dibuat-buat. Kasih sayang itu kami ekspresikan
kapan saja dan di mana saja, tanpa menunggu momen khusus. Saat duduk di ruang
tamu, ketika berjalan ke pasar, bahkan dalam percakapan ringan menjelang tidur.
Bagi saya, cinta bukan sesuatu yang harus diumbar berlebihan, tetapi cukup
dihidupi setiap hari, dalam bentuk yang sederhana.
Barangkali inilah yang dilihat teman-teman guru saya. Mereka
melihat anak-anak saya bisa menghargai orang lain, bisa menjaga sikap, dan
berani mencoba. Padahal, semua itu berawal dari kebiasaan kecil di rumah:
belajar meminta maaf, belajar menghargai pendapat, belajar menerima ketika ada
hal yang tidak sesuai keinginan.
Saya percaya, anak-anak tidak butuh orang tua yang sempurna.
Mereka hanya butuh orang tua yang hadir—yang mau marah ketika perlu, menegur
ketika salah, tetapi juga memeluk tanpa alasan. Kehadiran itu jauh lebih
penting daripada segala teori pengasuhan yang kadang terasa muluk.
Di sekolah, anak-anak bisa belajar banyak hal. Tapi di
rumah, mereka belajar siapa diri mereka sebenarnya. Dan sebagai orang tua,
tugas saya adalah memastikan bahwa rumah selalu menjadi tempat mereka kembali,
tempat yang penuh cinta meski kadang diwarnai pertengkaran kecil.
Mendidik anak ternyata bukan tentang mencetak mereka jadi
sempurna, melainkan menemani mereka tumbuh. Kadang dengan gelak tawa, kadang
dengan air mata. Kadang dengan teguran keras, kadang dengan pelukan hangat.
Semua itu bagian dari perjalanan yang akan mereka kenang suatu hari nanti.
Jika ada yang bertanya lagi bagaimana cara kami mendidik
mereka, mungkin jawabannya sederhana: dengan cara yang sama seperti keluarga
lain. Dengan marah dan cinta. Dengan air mata dan tawa. Dengan kesalahan yang
akhirnya membuat kami belajar, bahwa menjadi orang tua pun adalah sebuah proses
panjang, yang tak pernah berhenti.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar