Setiap cucu memiliki cara unik mengenang neneknya. Bagi Eluzai, kenangan itu lahir dalam bentuk tulisan sederhana yang justru menyimpan makna mendalam. Saat aku membacanya, aku seakan diajak kembali pada jejak kehidupan ibuku—dari dapur, ruang jahit, hingga lantai tari—yang kini hidup lewat mata cucunya.
Sebagai seorang ayah, membaca tulisan Eluzai tentang neneknya, ibuku sendiri, membawa aku pada perasaan yang dalam dan bercampur aduk. Ada rasa haru, bangga, sekaligus kagum, bukan hanya pada almarhumah ibuku, tetapi juga pada bagaimana seorang cucu mampu merekam jejak kehidupan neneknya dalam bentuk tulisan yang begitu jujur. Tulisan Eluzai ini bagiku lebih dari sekadar tugas sekolah. Ia adalah cermin dari sebuah keterhubungan batin antara cucu dan neneknya yang melampaui jarak usia.
Aku terkesan bagaimana Eluzai menangkap sisi-sisi sederhana dari ibuku, yang bagi sebagian orang mungkin terlihat biasa, namun baginya justru meninggalkan kesan mendalam. Ia menulis tentang kebiasaan memasak neneknya, tentang tangan terampil yang menjahitkan seragam sekolah, atau tentang cara neneknya mengajarkan tari. Dari hal-hal sederhana itulah terjalin ikatan emosional yang kuat antara keduanya. Aku melihat, di balik deskripsi yang ia buat, ada perasaan hangat yang tulus, seolah ia sedang berbicara langsung dengan neneknya, bukan sekadar menuliskan data biografis.
Sebagai anak dari almarhumah, aku tahu betul perjalanan hidup ibuku. Aku tahu bagaimana beliau berjuang dengan segala keterbatasan, mengasah keterampilan, membesarkan anak-anak, hingga akhirnya tetap menjadi pribadi yang penuh kasih. Tetapi melalui tulisan Eluzai, aku melihat kisah itu dari sudut pandang baru: dari mata seorang cucu yang merasakan manfaat langsung dari cinta dan perhatian neneknya. Hal ini menarik, sebab sering kali kita sebagai anak lebih banyak mengenang perjuangan orang tua dalam konteks tanggung jawab dan pengorbanan, sementara cucu justru menangkapnya dalam bentuk pengalaman kasih sayang sehari-hari.
Aku pun menyadari bahwa warisan seseorang tidak selalu hadir dalam bentuk besar dan monumental. Ibuku, misalnya, meninggalkan jejak melalui keahlian sederhana: menari, menjahit, memasak. Tetapi bagi Eluzai, semua itu bukan hal sepele. Justru dari situlah ia belajar tentang ketekunan, kesabaran, dan semangat untuk terus mengasah bakat. Bahkan ia menuliskan bahwa dirinya terinspirasi untuk tidak mudah mengeluh, sebuah nilai yang ia tangkap langsung dari cara neneknya menjalani hidup.
Tulisan ini menjadi bukti bahwa hubungan cucu dan nenek bisa membangun dimensi pendidikan yang unik. Tanpa sadar, nenek telah menjadi guru kehidupan bagi cucunya. Nilai-nilai yang diwariskan tidak melalui ceramah atau nasihat panjang, melainkan lewat teladan sehari-hari. Dan Eluzai, dengan sensitivitasnya, mampu merangkum semua itu dalam biografi yang sederhana namun sarat makna.
Sebagai seorang ayah, aku tentu merasa bangga. Bangga pada ibuku yang telah meninggalkan teladan, dan bangga pada anakku yang mampu menghargai serta menghidupkan kembali kenangan itu lewat tulisan. Bagiku, biografi ini bukan hanya catatan untuk memenuhi tugas sekolah, melainkan juga sebuah persembahan kecil dari cucu untuk neneknya. Tulisan ini sekaligus menjadi pengingat bagi kita semua, bahwa setiap kisah keluarga, sekecil apa pun, bisa menjadi sumber inspirasi yang besar ketika dituturkan dengan hati.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar