Kamis, 20 November 2014

Angkot ; Oase di Tengah Ketidakberdayaan





Tuntutan kerja di Jakarta itu sangat tinggi. Terutama jika karyawan masih pegawai rendahan. Telat beberapa menit, bisa berujung petaka. Ukurannya seringkali bukan produktifitas, tetapi lebih pada seberapa cepat seseorang nyampai di tempat kerja. Perkara setelah absen keluar lagi cari sarapan, tak jadi soal. Karena perhitungan, Anda telah masuk kerja, dan itu dapat dipahami sebagai sebuah produktifitas. Demikian juga dengan aturan pulang kerja, bukan terletak pada ada tidaknya pekerjaan yang harus diselesaikan, namun semata-mata ; apakah waktunya sudah tiba. Ngantri didepan mesin presensi jadi hal biasa, begitu teng langsung go!


Prilaku itu bukan jaminan, sampai dirumah tepat waktu. Perjuangan panjang segera menanti, macetnya jalanan. Pegawai teng go, biasanya adalah kaum komuter. Sebagian besar juga masyarakat urban. Sudah dapat dipastikan, rumah atau kontrakannya ada di kota-kota satelit, penyangga ibukota. Sewa rumah di tengah kota, atau pinggiran yang agak ke kota, menguras gaji bulanan. Sehingga meski harus berjuang berangkat dan pulang, jauh bukan jadi persoalan bagi para komuter ini. Setidaknya ini adalah pilihan bijak, di tengah ketidak bijakan.


Angkot salah satu pilihan favorit, selain motor, bus atau kereta. Setidaknya, moda ini lebih manusiawi ketimbang moda yang lainnya. Bisa duduk  agak nyaman hingga di depan tempat kerja. Belum lagi, ada jalur-jalur khusus yang dikuasai sang supir saat macet. Lewat gang perumahan yang banyak polisi tidurnya, tetapi bonusnya ; sampai tempat kerja tidak terlambat. Apesnya, jika ternyata ada banyak angkot lewat jalur yang sama, macet-macet juga.

Tuntutan kerja, datang tepat waktu dan angkot, entah bagaimana menjadi bersinergi. Bahkan angkot dapat menjadi salah satu tempat bagi penumpangnya untuk barang sejenak melepaskan lelah. Pagi ; jam berangkat kerja, dan sore sepulang kerja. Ini dibuktikan dengan kenyataan bahwa sebagian besar penumpang, memejamkan matanya. Entah, tidur atau sekedar trik agar tak melihat jalanan yang crowded supaya tidak tambah strees. Tapi apapun itu, sepertinya para penumpang pagi dan sore hari itu hanya ingin  mengembalikan kebugarannya. Angkot menyediakannya.

Para penumpang angkot, seringkali menunda mimpinya hanya gara-gara weker berbunyi.  Berkemas, dan melanjutkan lagi mimpi yang tertunda di angkot. Sebab jam menunjukkan waktu masih sangat pagi.  Gema azan juga masih terdengar dari masjid-masjid terdekat. Satpam masih berjaga di depan pos atau portal perumahan. Para komuter sudah berjuang di dalam angkot ; mengalahkan kantuk dan lelah yang belum sepenuhnya menghilang. Angkot plus supirnya memang memiliki sejuta alasan untuk ditendang, tetapi bagaimanapun keberadaannya sangat disayang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar